KenanganPutih Biru
Masa-masa putih biru sebentar lagi usai, hanya menunggu sebuah momen yang akan membuat jantung berdegup dengan kencang. Merasakan sebuah sensasi seperti inilah yang ditunggu-tunggu hanya pada saat pengumuman hasil ujian keluar. Setiap individu akan merasakan hal ini, dengan hasil tersebutlah bisa di ukur ke mana akan melanjutkan pendidikan. Ada yang melanjutkan ke jenjang SMA, SMK, MAN bahkan ada yang berhenti.
Sebuah pilihan yang sangat menentukan bagi tiap-tiap individu ke depannya. Tidak ada dari pilihan melanjutkan pendidikan atau berhenti dari pendidikan terakhirnya yang memaksakan untuk kuliah, bekerja, menjadi santri, bahkan menikah sekalipun. Karena usaha, doa, keyakinan serta karakter masing-masing individu juga saling berkaitan untuk menentukan ke depannya dan yang terpenting harus selalu mengikutsertakan sang Pencipta.
Tibalah momen pembagian hasil ujian, saat seorang guru memanggil namaku rasanya jantung ini berhenti berdetak. Ku langkahkan kaki yang berat ini menghampirinya, saat diterima hasil ujian itu tanpa pikir panjang langsung bergegas pulang. Rasanya tak sanggup bila melihat hasil ujian di sekolah. Sesampainya ke rumah langsung saja berlari menuju kamar, jantung ini semakin berdegup kencang. Setiap hembusan nafas terasa berat, “Bismillaahirrahmaanirrahiim” ucapku sambil membuka hasil ujian. Seketika aku terdiam tak bisa mengekspresikan apa-apa lagi, “Ya Allah, harus lanjut ke mana dengan hasil segini” lirihku.
Qodarullah, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke MAN. Keputusan ini diambil setelah mamah mengusulkannya yang sekaligus mendapat persetujuan dari bapak dan abah. Awal mulanya abah menentang keputusan mamah dan bapak untuk menyekolahkanku ke MAN, abah beralasan sekolah itu terlalu jauh dan dekat dengan terminal yang terkenal kurang baik untuk perempuan.
Hari demi hari berlalu, hingga pada malam 1 Ramadhan 2016 menjadi malam yang sangat panjang. Ketika sedang mondar mandir di rumah nenek, sepupu kecil tiba-tiba menangis. Tidak biasanya ia menangis sangat histeris, ketakutan terlebih tidak ingin menoleh ke arah abah. Seketika itu pula sekujur tubuhku terasa panas, lemas, gelisah, sesak sekali rasanya, saat itu juga aku memutuskan untuk tidur lebih awal.
Perasaan itu semakin menjadi-jadi hingga tidak bisa tidur. Aku sibakkan selimut terduduk dan mengipasi dengan telapak tangan, “Panas banget, sih” keluhku. Seingatku itu sekitar pukul sepuluh malam lebih, satu jam berbaring di kasur sama sekali tidak bisa tidur. Ada apa kenapa tiba-tiba terbesit begitu saja, dari luar terdengar suara ketukan pintu dibarengi panggilan nenek kepada mama, “Nak, sudah di mulai” kata nenek.
Apa yang terjadi, kenapa semuanya terburu-buru, kenapa semuanya aneh, kenapa adik perempuan harus baca surat yasin harus cepat pula. Banyak pertanyaan yang bermunculan di benaku, terlebih saat itu aku sedang masa liburan. Sekonyong-konyong nenek datang dan berkata, “Sudah tidak usah, sudah selesai” kata nenek, aku hanya terdiam, lalu mama datang sembari menangis dan berkata, “Ka, adek, abah sudah tidak ada, sudah meninggal”. Hening.., sangat hening dan aku hanya terdiam. Tiba-tiba seperti ada sambaran petir ke kepala, aku menangis, menangis tanpa henti sampai tidak terdengar suara tangisan lagi.
Suara pengumuman menggema di keheningan subuh pertama ramadhan ini, tidak lain tidak bukan sebuah pengumuman meninggal dunianya abah. Mendengar pengumuman itu rasanya masih tidak percaya, orang yang biasanya memberikan pengumuman tentang kabar meninggal dunianya seseorang kini diumumkan oleh anaknya. Rasanya hari-hari kemarin hanya sebuah cerita gembira belaka, hari-hari yang diliputi cahaya kebahagiaan kini menjadi gelap kesedihan yang mendalam. Tak ada lagi wejangan-wejangan kehidupan bijaksana dari seorang yang amat di sayangi keluarga dan di hormati masyarakat ini. Ia sudah kembali ke pangkuan Yang Kuasa
Judul: Kenangan Putih Biru
Asal: Cibereum Bogor